Azmul.com,
Salojampu Dikutip di situs resmi “UNIPRIMA” Ibu
Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi
Sulawesi Selatan. Kota ini dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang
sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup konon
memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Selain
kota niaga, kabupaten Wajo juga dikenal sebagai kota Sutera. Aktivitas
masyarakat Wajo dalam mengelola kain sutera telah dilakukan secara
turun-temurun dan dapat ditemukan hampir di setiap kecamatan yang ada di
kabupaten Wajo.
Arti Sengkang
Menurut
beberapa sumber arti kata sengkang adalah tempat atau daerah persinggahan,
kedatangan, dan bersama-sama datang. Sehubungan dengan makna sengkang tersebut
dapat disimpulkan bahwa wilayah Sengkang merupakan tempat strategis yang
membuat orang-orang jika melewatinya akan singgah karena adanya sesuatu yang
istimewa dan menarik di tempat ini.
Sejarah Nama Wajo
Wajo berarti
bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo,
bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan
pemimpin adat yang sepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di
sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan
Wajo. Ada versi lain tentang Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang
putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta.
Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut
Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon
kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai
Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh. Saat beliau
sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga
suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng)
yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka
kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan
yang tidak mengenal sistem to manurungsebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi
kerajaan elektif atau demokrasi terbatas. Kebesaran tanah Wajo pada masa
dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan
jaminan terhadap hak-hak rakyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
Ø Kerajaan
Ø Republik
Ø Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan
dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada
masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada
kebesaran dan kejayaan antara lain :
·
LATADAMPARE
PUANGRIMAGGALATUNG
·
PETTA
LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
·
LAMUNGKACE
TOADDAMANG
·
LATENRILAI
TOSENGNGENG
·
LASANGKURU
PATAU
·
LASALEWANGENG
TO TENRI RUA
·
LAMADDUKKELLENG
DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (PAHLAWAN NASIONAL)
·
LAFARIWUSI
TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang
berjasa di Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran
Wajo, yakni :
ü Versi Puang Rilampulungeng
ü Versi Puang Ritimpengen
ü Versi Cinnongtabi
ü Versi Boli
ü Versi Kerajaan Cina
ü Versi masa Kebataraan
ü Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang
menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu
pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar
(pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di
daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya
LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE diangkat sebagai Arung
Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam
pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap
rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI
mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung
Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat
menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon
Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri
dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya
Batara Langit di atas perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA
LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut,
maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru
didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo,
dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal
Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
·
Versi
tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada
Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
·
Versi
tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi,
dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
·
Versi
tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung
Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
·
Versi
ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI
dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di
belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang
menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena
sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada
pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut
di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Perkembangan Kerajaan Wajo
Dalam sejarah
perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La
Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad
ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa
Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi
setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam. Pada
abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo)
dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi
tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat
Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat
Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa
Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani
Perjanjian Bungayya. Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama
pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan
Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka. Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo
pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah
kelahirannya karena tidak sudi dijajah. Hingga saat datangnya La Maddukkelleng
Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang
memerdekakan Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang
memerdekakan Wajo).
Kontroversi
Arung Matowa Wajo masih kontroversi,
yaitu:
1.
Versi
pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng
sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah beliau terjadi kekosongan pemegang
jabatan hingga Wajo melebur ke Republik Indonesia.
2.
Versi
kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng Bettempola sebagai
legislatif mengambil alih jabatan Arung Matowa (jabatan eksekutif) hingga
melebur ke Republik Indonesia.
3.
Versi
ketiga, setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong)
sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa dan memerintah selama 40 hari
sebelum kedaulatan Wajo diserahkan kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu
Bapak Ratulangi.
Demikianlah sejarah Wajo hingga
melebur ke Republik Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai
saat ini.